Selasa, 09 Maret 2010

Asal Usul Orang Jawa (edisi1)


Pulau Kalimantan atau juga disebut Pulau Borneo, orang Jawa menyebutkan sebagai Nusa Bruney

Nun dahulu kala, penduduk desa Tanjung Matalayur Nusa Bruney bagian selatan (sekarang: Kalimantan Selatan ), yang tinggal disepanjang Pesisir Teluk Sampit, serta dikiri kanan Kali Sampit bagian hilir, terjadi wabah penyakit yang sangat dahsyat. Konon, orang-orang Sampit percaya kalau itu diakibatkan oleh Setan Blarutan Sogokweteng yang murka dan memangsa penduduk tanpa pandang bulu. Banyak sekali orang2 yang meninggal, terutama anak2 kecil yang lagi senang2nya bermain.

Penduduk yang masih hidup amat sangat dicengkam ketakutan yang luar biasa. Mereka kemudian pada mengungsi, menghindar mencari selamat.

Dibawah pimpinan seorang tokoh yang sangat mereka segani yang bernama Kie Seng Dhang, seseorang yang di tuakan, yang mumpuni dan sangat banyak pengalamannya dan luas pengetahuannya yang didapatkannya dari pengembaraan yang pernah ia jalani, mereka bersama-sama mengembara dengan berlayar menyeberangi Samudera Bruney kearah selatan.

Mereka percaya bahwa satu-satunya jalan agar bisa terhindar dari murka sang Setan Blarutan Sogokweteng, adalah dengan cara berlayar menyeberangi samudera, karena sang setan takut dengan samudera (maklum setan darat, jadi takut sama laut, hehe..). sang setan Blarutan Sogok Weteng takut kuwalat Bathari Hwa Ruh Na, ratunya Jim Samudera.

Setelah berlayar mengarungi lautan selama sepuluh hari sepuluh malam, bersamaan dengan terbitnya fajar diufuk timur, tampaklah oleh mereka bayangan daratan dengan puncak gunungnya.

Maka merapatlah mereka dipantai yang sunyi tapi terasa damai, dan indah pemandangannya. Satu tempat yang dikemudian hari dikenal sebagai Lasem dengan gunungnya yang bernama gunung Argopura (Ngargopura), dahulunya disaat itu bernama Gunung Nusa Kendheng.

Wilayah itu sekarang dikenal sebagai wilayah ex Karesidenan Pati Propinsi Jawa Tengah

Kala itu,tiga ratus tahun sebelum masehi yang lalu bentuk geografi P.Jawa tidak seperti sekarang ini. Wilayah tempat dimana Kie Seng Dhang beserta pengikutnya mengungsi, merupakan daratan yang terpisah dari pulau Jawa Dwipa, daratan tersebut mereka sebut sebagai Nusa Kendheng ( Perhatikan gamabar Peta Jawa Dwipa )

Sejenak setalah perahu-perahu mereka merapat ditepian pantai, maka para awak perahu membuang sauh dan menambat perahu-perahu mereka. Tempat dimana mereka menambatkan perahu sekarang dinamakan desa Narukan dan Plawangan (dari asal kata palwa = perahu ).

Para perempuan, berebut turun dari perahu sambil membuang susur tepes jambe ( kebiasaan perempuan-perempuan dari Sampit Nusa Bruney adalah makan sirih, untuk membersihkan bibir dan gigi sehabis makan sirih mereka menggunakan yang namanya susur, kala itu susur mereka buat dari tepes atau kulit buah pinang /jambe ) dengan kepercayaan bahwa mereka membuang apes/sial yang terbawa dari tempat asal mereka ). Nyi Seng Dhang (istri Kie Seng Dhang) membuang tanah/debu yang dia bawa dari bumi Sampit, dia taburkan di sepanjang pesisir bumi Argo Nusa Kendheng, kemudian sembahyang berdoa dan sujud mencium bumi Harapan, bumi dan angkasa Pertiwi, Bumi Nusa Kendheng. Perempuan=[erempuan lainnya mengikutinya dan bersama-sama memanjatkan doa ‘ Semoga anak keturunan mereka yang pada mengungsi dari bumi Sampit ke bumi harapan yang baru ini selalu mendapatkan keselamatan dan kebahagian selamanya hingga anak cucu beranak pinak,menjadi bangsa yang baru di bumi Nusa Argo Kendheng ini”.

Rombongan pengungsi dari tanah Sampit Nusa Bruney yg dipimpin oleh Kie Seng Dhang tersebut kemudian babat alas, membuat daerah pemukiman sebagai tanah air mereka yang baru.

Sementara kaum perempuannya sujud berdoa, para kaum prianya menyusul naik ke daratan, dan dibawah pimpinan dan arahan dari Kie seng Dhang mencari tempat yang mereka anggap baik, dekat dari sumber air untuk tempat tinggal mereka selanjutnya.

Kie Seng Dhang dengan tertatih-tatih karena usianya yang sudah lanjut, di tuntun cucu perempuannya yang masih sangat muda berusia 12 tahun dan sangat cantik bak golek kencana bernama Nie Rah Kie, mereka menyusup kedalam semak belukar untuk mendapatkan tempat yang mereka anggap layak dan cocok.

Setelah mendapatkan tempat yang cocok, kie Seng Dhang memerintahkan pengikutnya untuk mulai babat alas, pohon-pohon dan semak-semak mereka babat, untuk mendapatkan tempat yang lega dan terang.

Pada saat itu, Nie Rah Kie yang medampingi kakeknya melihat bunga yang harum baunya dan berwarna putih bersih sangatlah indahnya. Sang Putri sangatlah terpesona melihatnya, kemudian mohon kepada kakeknya bahwa nanti kalau mereka sudah membuat rumah, dia pengin menanam bunga itu di halaman rumahnya dan oleh sang Putri kembang itu diberinya nama Kembang Melathi. Dan kembang Melathi ini dikemudian hari menjadi syarat penting untuk acara2 ritual orang Jawa yang tidak boleh ditinggalkan.

Kurang lebih empat bulan kemudian, hutan belukar itu sudah menjadi “perkampungan” yang indah dan nyaman , kala itu bertepatan dengan tibanya musim Labuh, yaitu musim dimana, tetumbuhan sedang berbuah lebat, umbi2an sudah saatnya untuk dipanen, membuat orang-orang merasa bahagia dan merasa tercukupi kebutuhan pangannya.

Setelah menjadi perkampungan yang nyaman bagi mereka, mereka memandang perlu untuk kemudian berkumpul dibalai desanya, untuk membuat kesepakatan tata tertib, tata raharja desa yang telah mereka rintis dibawah pimpinan Kakek Kie Seng Dhang.

Kesepakatan yang telah mereka ambil diantaranya adalah:

1. Mengangkat Kie Seng Dhang diwisuda menjadi Sesepuh dan Dhatu (raja) Tanjungputri seumur hidup dan berkuasa atas bumi Pegunungan dan Pesisir Ngargopura, mulai dari Pandhangan hingga Teluk Lodan yang pesisirnya berupa lautan pasir.

2. Bumi Nusa Kendheng diganti namanya menjadi “Tanah Jawi”. Jawi adalah Banteng betina yang sangat dikeramatkan oleh orang Lingga.

3. Kita sekalian sekarang sudah bukan lagi orang Sampit, tetapi sudah menjadi manusia baru dan berganti nama menjadi Orang Jawa. Dengan keinginan ingin mencontoh watak Jawi (banteng betina) yang jawa banget (penuh kasih sayang, penuh pengertian, dan sangat perhatian) terhadap anak-anaknya. Jadi tanahnya disebut Tanah Jawi dan orangnya disebut Orang Jawa/Wong Jowo.

4. Mereka sepakat untuk memperingati tahun dimana mereka awal mulanya menjadi Orang Jawa dinamakan tahun Jawa Hwuning, dimana tahun jawa Hwuning 1 adalah 230 tahun sebelum Masehi. Dilambangkan dengan sebuah patung batu hitam seukuran manusia berujud Kie Seng Dhang sedang jongkok diujung desa sebelah timur Gunung Tunggul. Para tetua diwajibkan mengenakan kalung yg terbuat dari rambutnya sendiri yang di pilin dan digantungi bandul yang terbuat dari Batu jae Wilis sebesar kelingking dan dibuat mirip dengan arca/patung Kie Seng Dhang.

Mereka berkembang biak dan yang kemudian hari menjadi cikal bakal komunitas baru : Ras Suku Jawa ( Wong Jowo ) menjadi nenek moyang Wong Jowo sekarang ini.

Untuk memperingati asal usulnya Kie Seng Dhang itu dari desa Tanjung Matalayur, Teluk Sampit bumi Nusa Bruney pesisir selatan, maka desa cikal bakal yang ditempati Kie Seng Dhang seanak turunnya kini kemudian dinamakan desa Tanjungputri. ( sekarang menjadi desa Tanjungsari, Kecamatan Pandhangan/Kragan Kabupaten Rembang Kars Pati Jawa tengah ).

Untuk selanjutnya menarik di simak, siapakah Kie Seng Dhang beserta pengikut2nya yg berasal dari Sampit. Darimanakah sebenarnya mereka berasal?

Juga dimanakah letak kawasan tempat mereka mendarat pertama kali dari pengungsiannya yang disebut sebagai Nusa Argo Kendheng?

Mudah2an pada edisi berikutnya akan terjawab.

( Hikayat/kisah ini bersumber dan disadur dari Alangalangkumitir.wordpress.com )

2 komentar:

  1. Saya belum pernah dengar cerita semacam ini ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. https://alangalangkumitir.wordpress.com/2010/02/02/sejarah-kawitane-wong-jawa-lan-wong-kanung/

      Hapus